Friday, December 14, 2007

Plis deh..

Saya ini putri daerah.

Putra atau putri daerah.
Begitulah istilah yang 'cukup sakti' di daerah kampung halaman saya itu. Kenapa sakti? Kalau masih sekolah nih, trus ada penyertaan untuk lomba-lomba tingkat nasional, nah mesti putra daerah yang diprioritaskan. Misalnya gini; setelah saring menyaring trus tinggal dua orang nih, na yang bukan putra daerah ya siap-siap aja ngalah. Lha kalo dua-duanya satu daearh? Ya nilainya dong yang menentukan.
Begitu juga kalau mau melamar jadi PNS alias pegawai negeri sipil. Yang bukan putra daerah nih, jangan berharap banyak deh, kecuali kalau 'di atas' punya ayah, pakcik, om, pak etek dan lain-lain yang sakti juga. Namun semenjak transparansi penerimaan pegawai tiga tahun terakhir, kultus putra daerah dalam penerimaan pegawai sudah mulai berkurang. Terbukti banyak yang kecewa karena tidak diterima padahal sudah mengusung sebagai anaknya si A, ponakannya si B, sodara si C (maaf saya tidak bisa menyebut nama, tapi kalo yang baca tulisan ini dari daerah saya, psti ngerti deh). Meski banyak juga yang berkomentar "ini baru betul penerimaannya.." karena mendapati tempat kelahiran calon pns tidak hanya dari daerah saya ini.
Dus, bapaknya teman saya juga pernah kena getahnya putra daerah ini. Teman saya terhitung sebagai pendatang di daerah saya. Mereka datang dari sebelah utara daerah saya. Ayah teman saya diangkat jadi kepala sebuah instansi, ibunya pula jadi kabag di instansi yang lain. Tapi si ibu juga adalah ketua dharma wanita tingkat I alias tingkat propinsi gitu loh. Na, isu putra daeah ini berbangkit saat pergantian gubernur. Gubernur yang baru dengan sukses memangkas anggota kabinet yang bukan berasal dari daerah saya, termasuklah ayah teman saya ini, simply karena blio orang daeah seberang pulau. Halah kalo menurut saya mah, karena ayah teman saya dituding sebagai pendukung gubernur sebelumnya. Halah (lagi) padahal waktu itu belum ada pilkada secara langsung.
Eniwei, daerah saya ini emang unik kok. Kekayaan alamnya sungguh luar biasa. Tapi manfaatnya untuk rakyat banyak ya ndak terasa. Bebera rumor mengatakan kalau pegawai-pegawai pelayan masyarakat dipindahtugaskan ke daerah saya, wah mereka senang sekali katanya. Padahal di daerah saya tidak ada satu pun objek wisata yang menarik. Yang menarik yah tanya sendiri aja ya.. yang jelas oke punya deh. Atau tanya aja ketua KPK yang baru terpilih itu, blio juga jebolan daerah saya kok.
Uniknya lagi daerah saya ini, dengan kekayaan budayanya yang cukup banyak dan termasuk salah satu tonggak pendiri bangsa ini, lha kok cuma setengah hati merawat dan memeliharanya ya. Baru ribut kalau udah jadi konsumsi negara lain. Contohnya berita ini. Lha kok baru sekarang ributnya sih? Dulu waktu si budayawan bolak balik ke universitas seberang selat itu malah diliput habis-habisan. Si budayawan diberi anugerah oleh universitas yang sama, banyak ucapan selamat di koran daerah. Ya kenapa merungut sekarang? Plis deh..
Belum lagi soal festival yang malam ini akan digelar di daerah saya itu. Protesnya kok baru sekarang. Kan udah dari setahun yang lalu kepastian festival itu diadakan di daerah saya. Kenapa ribut-ribut dananya baru sekarang?
Gubernur daerah saya itu memang terampil soal publikasi daerah (dan dirinya) sendiri,s ampai punya situs dirinya lho. Semenjak kepemimpinannya, sudah berapa kali daerah saja menjadi tuan rumah ajang-ajang yang bersifat nasional. Mulai dari olimpiade fisika, olimpiade matematika, lomba ini itu, dll dll. Sudah berapa kali juga presiden atau wakil presiden berkunjung ke daerah saya untuk meresmikan jembatan dan meresmikan lain-lain. Gubernur saya yang kabarnya juga ustakz ini juga pernah menjadi pemnceramah dalam suatu perayaan agama di depan presiden republik ini. Keren kan gubernur daerah saya ini? Oya blio juga punya album lagu daerah yang dipakai untuk senam pagi anak sekolah dan pegawai. Wuih, gubernur daerah saya ini ya kayanya kalo jadi juru kampanye capres tahun 2009, kayanya tokcer deh.. bisa tergoda banget.. haiyyah plis deh..
Begitulah blio mengiklankan daerah saya kepada orang luar, tidak begitu yang terjadi di dalam daerah saya sendiri. Saya sih bukan analis pilitik komuniti kemasyarakatan. Saya cuma penduduk yang sudah berdiam 17 tahun sebelum hijrah ke pulau seberang. Daerah saya itu terus terang sulit untuk membuat rakyatnya berkembang atau mau mengembangkan diri. Mental "asal jadi pns" sudah cukup bagi mereka. Ibratnya nih, kalo udah pns alamat selamat deh. Calon mertua juga lebih senang dengan menantu berstatus PNS di pemda daripada karyawan bank swasta. Bukan hiperbola lho..
Ada cerita anaknya seorang pejabat menikah dengan seorang pria yang katanya insinyur IT dan berkerja di negeri seberang. Ketika menikah, bukannya si anak ikut suami malah suami disuruh mudik dan melamar jadi PNS. Dia juga salah satu korban anak pejabat yang tidak lulus pns.
Ada cerita (lagi) seorang pejabat berhasil memasukkan ketiga anaknya ke kampus penghasil pamong itu. Ibu saya berkomentar "alangkah sedikit modal bapak itu menyekolahkan anaknya". Oh mama, plis deh..
Saya sendiri cukup sedih dengan ayah ibu saya yang merasa cukup dengan anak lelakinya bisa menjadi pns. Aduh kenapa ya? Rasa aman sepertiya lebih penting ya? Banyak juga teman-teman saya yang sudah keluar daerah menantang hidup, akhirnya kembali bekerja di daerah atau paling tidak bersuamikan pns. Lebih bergengsi sepertinya.
Saya bukan mau menjelek-jelekkan daerah saya lho. Saya cuma sedih. Kalo sampai teman-teman saya yang sekarang sudah mulai duduk di kursi pemerintahan itu tidak berpikiran global, wah saya ndak tau lagi deh daerah saya itu mau kaya apa.
Plis deh.. sungguh daerah saya itu punya banyak potensi yang bisa digali...

No comments: