Friday, December 28, 2007

Berapa harga sebuah nyawa?

Inna lillahi wa inna lillahi rajiuun..

Layar kaca TV-ku pagi ini diisi oleh stasiun CNN. Berita yang ditayangkan: Pakistan ex-PM Benazir Bhutto assassinated. Kemudian muncul gambar-gambar, suara, analisa berita yang terkait dengannya.

Sigghhhhh.. saya menarik nafas panjang. Bertanya apa yang dimaui dunia hari ini? Mengapa tak bisa membiarkan hidup mengalir tanpa harus memikirkan siapa yang berkuasa dan untuk siapa seseorang berkuasa? Saya penasaran sehebat apa kekuasaan itu. Saya ingin tahu apa yang didapat oleh orang itu setelah membunuh. Apakah setelah ia membunuh dirinya sendiri, ia akan sampai di surga --setelah sebelumnya membunuh nyawa muslimah saudaranya? Ah, saya tentu bukan Tuhan.

Dan ketika negara yang merasa mereka berkuasa terhadap kedamaian dunia mengutuk pembunuhan keji itu, siapa pula mereka? Adakah mereka merasa berhak? Apa tidak berkaca terhadap vonis mati yang mereka jatuhkan terhadap seorang pemimpun -yang juga muslim- suatu ketika dahulu? Apakah pantas? Ah, lagi-lagi saya bukan politisi.

Saya hanya orang awam, biasa. Saya hanya prihatin terhadap sebuah nyawa yang hilang begitu saja. Berapa ia diharagai? Untuk nyawa seorang ibu dengan tiga orang anak; yang seorang anaknya menderita alzheimer-seperti neneknya; yang hidup di pengasingan jauh dari tanah lahirnya -juga atas nama demokrasi; berapa harga nyawa ibu itu?

Dan ketika pemimpin negara saya berharap semoga kejadian itu tidak terjadi di negara kita. Wow, memohon kah ia? Kepada siapa sesungguhnya ia memohon? Lawan politik? Teroris? Negara berkuasa itu? Rakyat yang memilih ketika itu? Siapa?

Selamat jalan ibu. Al fatihah dikirimkan untukmu.

-berita terkait dilihat di www.detik.com-

Monday, December 17, 2007

Tentang idol-idolan

Tadi malam saya nonton siaran langsung Asian Idol finale di tv lokal. Rada-rada membosankan karena suami juga nyambi nonton man-u vs liverpool di channel lain. Rada-rada membosankan, saya pindah ke meja kompi n ngubek-ngubek biasalah. Eh malah nemu posting ini.
Tayangan yang makin makin garing itu (menurut saya) tetap dipantengi karena penasaran aja siapa yang bakal dapat sms paling banyak. Koran lokal sini bilang pertandingan Asian Idol ini sudah dapat diprediksi sapa yang bakal menang, intinya sih mereka bilang "negara yang penduduknya paling banyak lah". Na, menurut prediksi si koran, artinya indonesia atau india dong yang bakal meraih sms terbanyak. Dari segi kualitas sih, no comment ah.
Saya sih paling suka sama yang dari vietnam -cantik dan ngasia gitu lho. Toh ini bukan pertandingan kualitas saja, seperti kata juri dari singapura, package juga penting karena semua adalah juara di tempatnya masing-masing.
Tunggu punya tunggu, yang ditunggu akhirnya datang juga.. tersebutlah "our very first Asian Idol is.....Hadi Mirza..from singapore".
Waks..kaget beneran.. si juri-juri aja menjagokan Phil, Indo, Mal sebagai juara n Indo lebih berpeluang karena juga tuan rumah. Ckckckckck... sms emang kagak bisa diprediksi dah. Suami saya bilang gini "kalo yang ngundi dari semua 6 negara peserta, masing-masing pilihan keduanya spore (setelah pilihan pertama negaranya sendiri gitu), yah yang menang spore dong wajar.."
Hmm, mungkin juga ya..pikir saya sambil manggut-manggut. Cara mengundinya kan memang vote spasi negara1 spasi negara2. Gak ngerti dan gak dijelaskan juga kenapa harus milih dua negara. Tag-nya gini "one vote, two choices. Otherwise your vote won't be accepted". Gak dijelaskan juga bagaimana mempertimbangkan pilihan kedua sebagai penentu kemenangan.
Eniwei, apa yang saya tulis ini bukanlah ungkapan kekesalan atas jagoan saya tidak menang. Saya cuma teringat akan sebuah perkataaan -ntah siapa- tapi sering dengar:
there are three types of lie: lie
damn lie
and....statistic

Saturday, December 15, 2007

Diamonds Are Forever

Diamonds are forever,
They are all I need to please me,
They can stimulate and tease me,
They won't leave in the night,
I've no fear that they might desert me.
Diamonds are forever,
Hold one up and then caress it,
Touch it, stroke it and undress it,
I can see every part,
Nothing hides in the heart to hurt me.

--a song by Shirley Bassey--


Saya lagi tertarik dengan batu mulia bernama berlian ini. Gara-garanya bulan lalu dan minggu lalu ada seorang teman yang membawa temannya untuk memperlihatkan koleksi berlian yang (akan) dijualnya. Wah saya samasekali tak berpengalaman dengan perhiasan, katakan pula dengan berlian. Emas saja cuma tahu 24 karat atau 22 karat. Rupanya ada jenis-jenisnya juga. Emas Makassar, emas kelantan, emas india, emas abu dhabi. Waduh..

Kembali ke berlian. Di mata saya batu bling-bling ini adalah yang paling menarik, meskipun terdapat batu mulia lain yang sama mahalnya (turqoise, ruby, blue sapphire, dll dll). Tidak ada yang mengalahkan kilaunya berlian. Saya lanjutkan melihat-lihat koleksi perhiasan si temannya teman saya.

"ini cantik ya mbak?"
"iya, tapi itu pecah-pecah din batunya"
"kalau pecah, berkurang ya nilainya?"
"iya, nih kaya gini nih, satu batu satu batu. Makanya yang itu harganya juga lebih murah"
"lha ini keliatan gede berliannya, tapi kok lebih murah daripada itu?"
"itu cutting-nya din.. kalo dipotong ala rose cut tuh biar batunya besar tapi tak terlihat berkilau. Soalnya ujung-ujungnya udah dipecah untuk dibentuk lagi jadi gelang taburan kaya gini nih.."

Saya pun manggut-manggut. Besoknya pas lagi jalan sendirian di mal, saya mampir ke sebuah toko perhiasan yang kebetulan lagi diskon 50%. Tentu tanpa bermaksud membei apa-apa (no hepeng baby!!). Disambut sang sales assistant dengan ramah, saya pun diantar melihat-lihat koleksi perhiasan. Pilihan saya: emas putih dan berlian tentunya. Coba gelang ini, gelang itu. Pindah lagi nyoba cincin ini, cincin itu. Sambil ngobrol-ngobrol dengan si encik sales, saya bertanya-tanya asal usul berlian ini.

Singkatnya nih, kalo mau beli berlian yang perlu diperhatikan adalah cut, clarity, color, carat (4'c). Untuk lebih jelasnya, lihat disini ya!

Na, si berlian yang dijual di toko-toko dan udah jadi perhiasan itu dipanggilnya comission diamond. Sepertinya batu jenis inilah yang layang dipakai dan diperjualbelikan dan tidak termasuk kategori berlian berdarah seperti diceritakan filem itu. Berlian jenis ini (kalau di negara ini lho ya) umumnya didatangkan dari Afrike Selatan atau Eropa. Kalau di negara kita sih (ini kata teman pembuat berlian itu) batunya dari india. Trus cuttingnya juga bisa macam-macam. Cuma 3c yang lainnya tidak akan sama dengan batu yang dijual satuan alias tidak berbentuk perhiasan. Kalau batu yang dijual satu persatu itu, range warnyanya berkisar dari D, E, dan F (D adalah yang paling bagus). Kebersihannya juga mulai dari Flawless ampe VVS2. Kalo ukurannya sih ya macam-macam juga. Batu satuan ini dilengkapi dengan sertifikasi internasional (GIA) yang nilainya relatif lebih stabil dan bisa dijual kembali dengan harga yang kompetitif. Artinya ok-lah untuk investasi. Tapi batu ini juga belum berbentuk perhiasan. Kalo mau dijadikan perhiasan, yah diskusikan sendiri ama tukang berliannya ya hehehe..

Kalo berlian yang udah jadi perhiasan, warnanya udah pindah ke grade G-I, kebersihannya juga sampe VS1-Vs2, walaupun ukurannya juga ada yang bisa nyampe 1 karat dan wow juga bling-blingnya. Membeli perhiasan berlian kata si encik sales mah bukan untuk investasi. "Diamonds are forever kan?" begitu deh manglishnya ngomong ama saya. Dia pernah menjual perhiasan seharga RM45000 ke orang filipina dan beberapa bulan kemudian dia datang lagi untuk menjual si perhiasan karena usahanya seret. Cuma dibeli toko RM18000! Waks.. berbeda sekali dengan teman saya si pengumpul emas kuning yang hasil jualan gelang emasnya menghasilkan tiga kapling tanah di pinggiran ibukota!

Begitulah pembicaraan saya berakhir dengan "thank you, I'll come back later ya" Sebuah jawaban standar saya untuk pelayan toko yang sudi melayani tapi barangnya tidak saya beli.

Friday, December 14, 2007

Plis deh..

Saya ini putri daerah.

Putra atau putri daerah.
Begitulah istilah yang 'cukup sakti' di daerah kampung halaman saya itu. Kenapa sakti? Kalau masih sekolah nih, trus ada penyertaan untuk lomba-lomba tingkat nasional, nah mesti putra daerah yang diprioritaskan. Misalnya gini; setelah saring menyaring trus tinggal dua orang nih, na yang bukan putra daerah ya siap-siap aja ngalah. Lha kalo dua-duanya satu daearh? Ya nilainya dong yang menentukan.
Begitu juga kalau mau melamar jadi PNS alias pegawai negeri sipil. Yang bukan putra daerah nih, jangan berharap banyak deh, kecuali kalau 'di atas' punya ayah, pakcik, om, pak etek dan lain-lain yang sakti juga. Namun semenjak transparansi penerimaan pegawai tiga tahun terakhir, kultus putra daerah dalam penerimaan pegawai sudah mulai berkurang. Terbukti banyak yang kecewa karena tidak diterima padahal sudah mengusung sebagai anaknya si A, ponakannya si B, sodara si C (maaf saya tidak bisa menyebut nama, tapi kalo yang baca tulisan ini dari daerah saya, psti ngerti deh). Meski banyak juga yang berkomentar "ini baru betul penerimaannya.." karena mendapati tempat kelahiran calon pns tidak hanya dari daerah saya ini.
Dus, bapaknya teman saya juga pernah kena getahnya putra daerah ini. Teman saya terhitung sebagai pendatang di daerah saya. Mereka datang dari sebelah utara daerah saya. Ayah teman saya diangkat jadi kepala sebuah instansi, ibunya pula jadi kabag di instansi yang lain. Tapi si ibu juga adalah ketua dharma wanita tingkat I alias tingkat propinsi gitu loh. Na, isu putra daeah ini berbangkit saat pergantian gubernur. Gubernur yang baru dengan sukses memangkas anggota kabinet yang bukan berasal dari daerah saya, termasuklah ayah teman saya ini, simply karena blio orang daeah seberang pulau. Halah kalo menurut saya mah, karena ayah teman saya dituding sebagai pendukung gubernur sebelumnya. Halah (lagi) padahal waktu itu belum ada pilkada secara langsung.
Eniwei, daerah saya ini emang unik kok. Kekayaan alamnya sungguh luar biasa. Tapi manfaatnya untuk rakyat banyak ya ndak terasa. Bebera rumor mengatakan kalau pegawai-pegawai pelayan masyarakat dipindahtugaskan ke daerah saya, wah mereka senang sekali katanya. Padahal di daerah saya tidak ada satu pun objek wisata yang menarik. Yang menarik yah tanya sendiri aja ya.. yang jelas oke punya deh. Atau tanya aja ketua KPK yang baru terpilih itu, blio juga jebolan daerah saya kok.
Uniknya lagi daerah saya ini, dengan kekayaan budayanya yang cukup banyak dan termasuk salah satu tonggak pendiri bangsa ini, lha kok cuma setengah hati merawat dan memeliharanya ya. Baru ribut kalau udah jadi konsumsi negara lain. Contohnya berita ini. Lha kok baru sekarang ributnya sih? Dulu waktu si budayawan bolak balik ke universitas seberang selat itu malah diliput habis-habisan. Si budayawan diberi anugerah oleh universitas yang sama, banyak ucapan selamat di koran daerah. Ya kenapa merungut sekarang? Plis deh..
Belum lagi soal festival yang malam ini akan digelar di daerah saya itu. Protesnya kok baru sekarang. Kan udah dari setahun yang lalu kepastian festival itu diadakan di daerah saya. Kenapa ribut-ribut dananya baru sekarang?
Gubernur daerah saya itu memang terampil soal publikasi daerah (dan dirinya) sendiri,s ampai punya situs dirinya lho. Semenjak kepemimpinannya, sudah berapa kali daerah saja menjadi tuan rumah ajang-ajang yang bersifat nasional. Mulai dari olimpiade fisika, olimpiade matematika, lomba ini itu, dll dll. Sudah berapa kali juga presiden atau wakil presiden berkunjung ke daerah saya untuk meresmikan jembatan dan meresmikan lain-lain. Gubernur saya yang kabarnya juga ustakz ini juga pernah menjadi pemnceramah dalam suatu perayaan agama di depan presiden republik ini. Keren kan gubernur daerah saya ini? Oya blio juga punya album lagu daerah yang dipakai untuk senam pagi anak sekolah dan pegawai. Wuih, gubernur daerah saya ini ya kayanya kalo jadi juru kampanye capres tahun 2009, kayanya tokcer deh.. bisa tergoda banget.. haiyyah plis deh..
Begitulah blio mengiklankan daerah saya kepada orang luar, tidak begitu yang terjadi di dalam daerah saya sendiri. Saya sih bukan analis pilitik komuniti kemasyarakatan. Saya cuma penduduk yang sudah berdiam 17 tahun sebelum hijrah ke pulau seberang. Daerah saya itu terus terang sulit untuk membuat rakyatnya berkembang atau mau mengembangkan diri. Mental "asal jadi pns" sudah cukup bagi mereka. Ibratnya nih, kalo udah pns alamat selamat deh. Calon mertua juga lebih senang dengan menantu berstatus PNS di pemda daripada karyawan bank swasta. Bukan hiperbola lho..
Ada cerita anaknya seorang pejabat menikah dengan seorang pria yang katanya insinyur IT dan berkerja di negeri seberang. Ketika menikah, bukannya si anak ikut suami malah suami disuruh mudik dan melamar jadi PNS. Dia juga salah satu korban anak pejabat yang tidak lulus pns.
Ada cerita (lagi) seorang pejabat berhasil memasukkan ketiga anaknya ke kampus penghasil pamong itu. Ibu saya berkomentar "alangkah sedikit modal bapak itu menyekolahkan anaknya". Oh mama, plis deh..
Saya sendiri cukup sedih dengan ayah ibu saya yang merasa cukup dengan anak lelakinya bisa menjadi pns. Aduh kenapa ya? Rasa aman sepertiya lebih penting ya? Banyak juga teman-teman saya yang sudah keluar daerah menantang hidup, akhirnya kembali bekerja di daerah atau paling tidak bersuamikan pns. Lebih bergengsi sepertinya.
Saya bukan mau menjelek-jelekkan daerah saya lho. Saya cuma sedih. Kalo sampai teman-teman saya yang sekarang sudah mulai duduk di kursi pemerintahan itu tidak berpikiran global, wah saya ndak tau lagi deh daerah saya itu mau kaya apa.
Plis deh.. sungguh daerah saya itu punya banyak potensi yang bisa digali...

Friday, December 07, 2007

Orang bijak itu telah pergi

"Innalillahi wa innalillahi rajiuun. Telah wafat Prof Fuad Hassan pd hari ini 7 des 2007 jam 15.25 di ICCU RSCM. Rumah duka jl. Brawijaya 10 no 2 Kby. Sarlito WS. Saya beruntung pernah diajar Prof Fuad, beliau termasuk dosen yang sgt sy kagumi."

Demikian sms berantai yang dikirim oleh mas Ito kepada rekan-rekan yang akhirnya sampai juga ke hp saya.

Saya juga mengagumi Prof Fuad, mas Ito. Saya juga beruntung pernah diajar oleh beliau, meski cuma dapat satu mata kuliah. Saat itu beliau sudah purnabakti tapi tetap ada di kampus dan masih mengajar Filsafat Manusia untuk mahasiswa semester tiga.
Waktu baru masuk kuliah, saya sudah merasa bangga ternyata mantan menteri pendidikan dan kebudayaan ini adalah guru besar di fakultas saya. Saya pernah berjumpa dan hanya berjabat tangan dengan beliau sewaktu saya mewakili daerah ke suatu lomba di tingkat nasional dan saat itu Prof Fuad-lah menterinya. Tidak disangka saya akan menjadi 'mahasiswa' beliau di kampus ini.
Tugas ospek angkatan -yang bersahaja itu- salah satunya mewawancarai dosen-dosen. Saya dan Inggit -teman saya- tidak melewatkan kesempatan untuk bisa mewawancara Prof Fuad (sesuai modul, kita baru akan diajar beliau pas tingkat dua..kelamaan gitu nunggunya). Tadinya kita keder juga bertemu beliau, "orang besar" gitu lho. Ternyata setelah berbicara, Prof Fuad memang 'memukau'. Satu-satunya yang mengganggu saya adalah rokok yang tidak henti-henti beliau hisap. Ruang ber-AC dengan jendela terbuka..aduh sumpeknya. Namun sumpek itu terlupakan dengan obrolan-obrolan yang sarat makna, penuh motivasi, terutama bagi kami mahasiswi baru yang belum tahu akan "amazing"nya belajar dan berinteraksi di fakultas ini.

Ah Prof Fuad..
Saya tidak tahu mau berkata apa tentang beliau.. gagah (beneran lho gagah, tinggi, besar, rambut putih), selalu berbaju putih dan bercelana khaki, bagaimana beliau memandang dan menempatkan manusia, memahami dan memaknainya..ah..
Saya seperti sentimental sekali ya, padahal interaksi saya dengan beliau tidaklah sedalam mana. Tapi saya sungguh merasa beruntung dapat mengenali beliau, sebuah pengalaman berharga untuk saya pernah mendengar pikiran-pikirannya dari mulut beliau, tidak hanya dari membaca buku-bukunya.

Orang bijak itu telah pergi sore ini. Dunia pendidikan kita kehilangan satu orang. Saya juga ikut kehilangan. Semoga Allah menerima ibadah dan perbuatan baiknya. Al Fatihah saya kirimkan.

Thursday, December 06, 2007

None

Title: none

di luar hujan deras
di dalam saya malas

Mau ngapain lagi hujan begini?

Main ama diada? udah dari tadi, gantian emaknya buka-buka kompi dulu.
Baca koran pagi? udah juga, cuma sebentar karena koran gratisan yang ada di lobi.
Sarapan? udaaaaah.
Nonton tv? diada yang lagi nonton, pengganti saya yang di depan kompi. Gak papa lah.

Oh hujan, lekaslah berhenti. Saya udah janji mau pergi sama diada.



Monday, December 03, 2007

Hamil?

"Kapan nambah lagi, din?"
"Diada udah butuh teman tuh kayanya, kapan nih?"
"Ayo buruan..udah dua tahun kan?"
"Kapan hamil lagi nih?"


Belakangan ini saya sering menerima pertanyaan seperti itu. Thanks to banyaknya teman-teman yang melahirkan pada tahun ini saja. Tak kurang dari 10 orang di negara ini dan empat orang di negara saya yang sudah atau baru saja melahirkan. Ada yang anak pertama, ada yang anak kedua, ada juga yang anak ketiga-empat-lima-enam (serius, eman!).

Tidak heran juga kalau pemerintah negara kita itu sedang melancarkan (kembali) gerakan keluarga berencana alias KB. Negara kita sedang mengalami era baby boomers lagi. Dan sepertinya ada kecenderungan ke arah pendapat "dua anak (tidak lagi) cukup, paling tidak tiga-lah" (ini murni pendapat saya lho ya, bukan penelitian BKKBN).

Lha, hubungannya dengan pertanyaan di atas?

Saya tidak menghakimi teman-teman yang punya anak lebih dari dua. Jumlah anak yang diinginkan setiap keluarga kan urusan dapur rumah tangga masing-masing. Kalau pun ada seorang teman yang tidak mau punya anak sama sekali demi mengurangi emisi gas buang sekaligus dan mengurangi pemanasan global (serius kok, ini alasannya. Ada di milis pernyataannya, :)), saya juga tidak berhak komentar.

Saya (sedang) mau merenungi alasan saya sendiri yang belum menambah anak. Biasanya saya menjawab pertanyaan di atas dengan:
"nambah lagi? mm.ntar dulu deh.."
"hamil? yang lain dulu aja deh.. ga mau ikut tren pada hamil"
"buka spiral aja belum, gimana mo hamil?"
atau dijawab oleh teman saya yang lain:
"huu.. dience baru kurus gitu disuruh hamil lagi, mana mau dia"

Hmm, kayanya jawaban terakhir yang paling betul deh, hahaha..

Tapi, apa sih alasan saya untuk (belum) hamil lagi?

Terus terang saya tidak punya jawaban pasti untuk pertanyaan ini. Ini jawaban yang mungkin.

Suami saya juga belum excited untuk menambah anak. Katanya "ntarlah, tunggu diada gede dulu". Hayo, bagaimana saya mengartikan 'gede' itu umur berapa ya? Mungkin maksudnya kita santai soal anak ini. Sama halnya ketika mau hamil anak pertama dulu. Saya cuma berharap saya baru hamil setelah magister profesi saya selesai (yang memang tidak disarankan bagi mahasiswa untuk hamil ketika sedang mengikuti program profesi). Eh ternyata saya pindah ke negeri seberang. Kuliah ditinggal. Hamil tak kunjung datang. Kita juga tidak neko-neko soal kapan akan diberi rezeki hamil. Tidak ada desakan dari keluarga kami. Saya malah senang 'pacaran' dengan suami setelah menikah. Setelah hampir dua tahun menikah, baru saya hamil Tentu saja kami senang dan eexcited. Saya tidak punya pengalaman buruk sepanjang hamil dan persalinan. Jadi, pada dasarnya tidak ada alasan 'trauma hamil pertama' yang menghalangi saya untuk hamil anak berikutnya (hehehe).
Perihal suami yang belum kepengen nambah ini juga tidak usah dibesar-besarkan. Alasan yang lebih mungkin lagi adalah kami belum puas melihat diada tumbuh dan bertingkah. Tiada hari yang terlewatkan tanpa melihat polah, mendengar celotehan diada. Saya sendiri yang (mungkin) belum siap membagi kasih saya dengan adiknya nanti. Alasan apa pula itu? Orang lain toh baik-baik saja. Dibuat-buat itu. Terserah deh. Menurut saya, itu alasan yang lebih mungkin. Dalam hal ini saya tidak peduli orang mau bilang:
"buruan, mumpung diada masih kecil, jadi sekalian gedenya"
"buruan, mumpung masih muda.."


Yang terakhir sih ada benarnya. Anyway, saya sudah memperhitungkan usia kok kalau nanti mau hamil lagi.

Sepanjang menulis ini, saya masih berfikir "memangnya apa sih yang menunda saya untuk hamil sekarang?"

Jwabannya ternyata saya tidak punya alasan apa-apa lho. Memang tidak masuk agenda saya untuk hamil saat ini.
Bahwa saya ber-KB menggunakan IUD memang alasan saya untuk menjarangkan kehamilan. Jadi, selama saya belum membuka si IUD, ya mudah-mudahan saya tidak hamil toh?
Bahwa saya memang sedang menikmati diri saya (istilah sebuah majalah: me time) ya benar juga. Saya memang baru 'enak' bergerak dengan berat badan yang ideal (lagi). Saya sedang menikmati keseimbangan ini. Saya masih bisa 'jalan-jalan' dan meninggalkan diada beberapa waktu. Saya masih bisa membaca buku-buku baru, nonton film, nonton serial di dvd ketika diada tidur (kadang juga pas dia bangun sih, hehehe) --yang kalau ada si adik bayi, saya belum tentu bisa se'bebas' ini.

Ups, saya tidak menyatakan teman-teman tidak 'bebas' lho. Saya ikut bahagia menyaksikan kelahiran 'ponakan' baru itu. Salut dengan mereka yang mampu mengurus rumah tangga sendiri tanpa ditemani asisten. Untuk yang satu itu, saya menyerah sebelum mencoba.

Sederhana saja, saya belum mau. Tidak ada alasan.