Monday, August 13, 2007

Emosi:marah

Sabtu, 11 Agustus 2007
Pagi :
Mendapat kepastian kabar tak sedap dari keluarga di jakarta. Hati jadi tak tenteram, nggak tenang, sedih.
Satu hal, memutuskan untuk pilates saja, telat dikit gak papalah. Paling ketinggalan awal-awal doang, pikirku.

Pagi menjelang siang:
Di tempat pilates, nggak bisa fokus, apalagi konsenterasi penuh.
Selesai latihan, ditanyain (dengan nada keras, seperti anak sd jaman dulu yang nggak ngerjain pe-er) mengapa telat padahal saya yang minta jam mulai latihan.
Emosi bangkit, tapi tidak mampu berkata dan menjawab. Dada sesak, merasa diperlakukan tidak adil, tapi tidak berfikir untuk melawan. Halah, malas.
Di luar tempat latihan, suami belum datang. Bete lagi.
Telpon nggak diangkat, pfff, akhirnya datang juga.

Siang:
Di rumah, masih tak habis fikir dengan kejadian pilates tadi. Masih memikirkan rasionalitasnya marah karena saya datang telat. Apakah mengganggu konsentrasi orang lain? Kalau iya, kenapa dari awal tidak disebutkan "Lebih baik tidak usah datang samasekali daripada datang telat dan mengganggu orang banyak"?
Berfikir lagi dan menjadi suuzan alias buruk sangka.
Setiap minggu selalu berakhir dengan topik "apakah kita tetap mulai jam segini?". Tapi hari itu, langsung dimundurkan jadi jam 10.00 karena saya tidak mampu menepati janji datang 9.30.
Apa yang membuat saya berburuk sangka?
Kalimat ini, "Ok then, next friday I can start going out at night again".
Oh, okay, kalau memang maksud dan tujuannya begitu, baiklah. Saya toh pilates buat fun dan menambah manfaat berolahraga. Saya senang dan cocok dengan ritme gerakannya. Tapi saya tidak suka diperlakukan sebegitu.
Apa saya sebegitu berat kesalahannya? Suami saya saja tidak pernah berkata dengan tone seperti itu walaupun dia sedang kesal atas sesuatu hal. Ini lelaki lain. Bah.
Saya marah sekali. Saya emosi.

Sore:
Suami saya pulang dengan membawa berita bahwa ada kejadian di tempat pertandingan badminton.
Seorang lelaki meninju lelaki lain di depan isteri dan anaknya.
Hati telah tersinggung, marwah keluarga telah tersentil.
Suami saya hanya mampu menengahi.
Ini marah yang terkeluar serta merta. Si lelaki satu menganggap ini jihad keluarganya.
Lelaki lain tidak menafikan kesalahannya.
Saya sedih.
Saya memahami lelaki yang memukul. Saya tidak mengasihani yang dipukul.
Saya sedih.
Isteri yang dipukul adalah teman saya. Isteri yang memukul ya teman juga.

Malam:
Mau mencari udara seagar, berakhir dengan udara asap hasil dari pembakar sate di damnasara.
Lumayanlah, makan sate yang bumbunya 'ngindonesia' banget.
Alhamdulillah.

No comments: